LEMONADE ( PART #4 )


Setelah kejadian di lapangan basket indoor dan di halaman kampus, kejailan Alvin makin menjadi. Seperti yang Alvin janjikan, Vanta menerima pembalasan Alvin. Tali helm yang berhasil di gunting oleh Alvin dari pengait di bawah jok motor Vanta dibawanya ke kantin, lantaran sukses membuat Vanta menguras tenaga. Mereka kerjar-kejaran di area kantin layaknya Tom and Jerry. Alvin berlari sambil terus menggeser setiap bangku di belakangnya untuk menghadang Vanta. Tapi Vanta tetap tidak menyerah walaupun keringat membanjiri sekujur tubuhnya. ”Balikkin helm gue! Kayak anak kecil, tau nggak?!” seru Vanta masih berlari berusaha megejar Alvin. Suasana kantin siang itu jadi berantakkan karena aksi kejar-kejaran mereka.
Melihat Vanta yang kualahan, Alvin semakin senang. Ia mengunyah permen karet di mulutnya sambil sesekali meniupkannya menjadi balon. Cowok itu cuma cengengesan tanpa mempedulikan cewek yang ada di belakangnya sudah tidak kuat mengejarnya. Sampai cewek itu berhenti berlari dan meneriakkan namanya dengan suara yang melengking, ”ALVIIIIIIINN!!!! BALIKKIN NGGAK, HELM GUE!!!” Alvin kontan mengerem langkahnya dengan mendadak. Mereka berdua telah ramai ditonton anak-anak kampus. Mendengar Vanta meneriakkan namanya, ia berjalan ke arah Vanta dan berdiri tepat di hadapan cewek itu menenteng sebuah helm.
”Jangan teriakkin nama gue keras-keras dong. Malu tau. Ntar lo malah dikira fans fanatik gue, lagi.” Teman-teman Alvin yang menjadi saksi hidup aksi kejar-kejaran di kantin memecah tawa.
Tidak menyangka Alvin bakal mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya, Vanta menganga. Sedetik kemudian ia menegakkan kepalanya untuk menatap wajah cowok tinggi itu. ”Sorry aja ya, gue nggak level nge-fans sama cowok nyebelin kayak lo. Nggak ada bagus-bagusnya!”
Alvin balas menatap Vanta dan tersenyum sumbar, ”Sombong banget lo,”
”Itu kenyataan. Nggak ada yang perlu gue kagumin dari pecundang macem lo!”
”Pecundang?”
”Iya, lo!”
Dengan tenang ia mencondongkan badannya ke Vanta menatap cewek itu tepat pada manik matanya, ”Orang yang udah di bawah nggak pantes ngomong kayak gitu. Sekarang lo yang ada di posisi kalah. So, it’s you the loser. Keras kepala banget.” Alvin berbalik pergi, ”Dahh, gue bawa ini,” diangkatnya sebelah tangan yang memegang helm Vanta.
Vanta cuma bisa melihat punggung Alvin yang terus menjauh keluar dari kantin. Orang itu, orang yang tiba-tiba menjadikannya sasaran balas dendam, orang yang selalu cari masalah dengannya, hari ini membuat Vanta semakin yakin. Ia benci cowok itu setengah mati! Kalaupun di Bumi hanya tinggal Alvin dan dirinya, ia tetap tidak akan sudi mengobrol dengan cowok seperti itu. Apa lagi bergantung padanya. Ia bersumpah demi langit dan bumi.


Beberapa hari kemudian setelah aksi Tom and Jerry di kantin, Vanta terpaksa mendapatkan ’hadiah’ lagi dari Alvin. Cacing yang dilempar Alvin ke mejanya saat Vanta sedang makan siang, membuat Vanta menjerit-jerit jijik! Vanta paling benci hewan yang menggeliat-geliut seperti cacing. Baginya hewan itu adalah makhluk paling menjijikan yang pernah ada di jagad raya. Berikutnya tikus putih yang disebar di kantin, sebenarnya tidak membuat Vanta takut, justru malah Jessi dan beberapa cewek yang menjerit histeris sambil melompat sana-sini dan naik ke bangku di kantin, lalu memeluk Vanta erat!
”Itu cowok bener-bener kelewatan!” seru Vanta seraya menyantap makan siangnya di tangga.
”Kalo begini terus, gue juga jadi kena nih Ta,” desis Jessi.
”Tapi kita nggak bisa bales dia, Jes.”
Keduanya terdiam. Jessi berpikir sejenak, kemudian... ”Aha!”
”Kenapa? Lo ketemu solusi yang bagus?” tanya Vanta penasaran.
”Ada sih. Tapi lo harus setuju,”
”Apaan dulu nih? Asal nggak aneh-aneh, gue sih oke aja. Kalo kayak gini terus gue bisa gila Jesssss!”
Setelah Vanta berhenti bicara, Jessi mengutarakan idenya, “Lo mesti cepet cari pacar,”
“APA?!”
”Eh, biasa dong. Nggak pake teriak."
“Apa hubungannya sama cari pacar, Jesslyne???”
“Ya ada, otomatis kalo ada yang lindungin lo, jagain lo, Alvin bakal mundur. Yang pasti nggak enak hati juga lah... Bisa-bisa dia disangka ganggu cewek orang. Ya kan?”
”Emang bisa begitu?” Vanta memandang Jessi polos, sudah beberapa hari ini mereka makan siang di tangga. Menghindari kontak dengan area kantin. Karena di sana pasti akan ada Alvin. Alvin yang sudah tahu nama Vanta, sangat berbahaya. Ia bisa dengan mudah mencari tahu tentang Vanta, apa lagi mereka sama-sama jurusan desain.
”Ya bisa lahhh...” Jessi membalas tatapan Vanta yang seolah berkata 'Lemot banget sih, lo, Ta!'
”Tapi gue pacaran sama siapa?”
Mendengar pertanyaan Vanta, Jessi hanya bisa menepuk dahi. Dengan sorot mata polos, Vanta masih menunggu jawaban Jessi. Akhirnya Jessi menjawab, ”Ta, lo tuh pinter. Tapi gue bingung sama lo, kalo masalah tentang Alvin, lo tuh polos atau bego ya?”
Vanta langsung cemberut menatap Jessi. Karena tidak tega dengan temannya Jessi menjelaskan, ”Lo usaha deh, deket sama siapa gitu untuk sekarang ini. Kalo udah cocok langsung jadi-in! Jangan mikir-mikir lagi buat sekarang.”
”Tapi yang jadi masalah, hampir satu kampus tau kalo gue korban gencatan Alvin. Emang ada cowok yang berani deketin gue, dan mau lindungin gue?? Yang ada itu orang keburu takut duluan sama Alvin!” Kali ini memang penjelasan Vanta masuk akal.
”Hmm, iya juga sih. Cowok sini mental kerupuk semua.”
”Kok kerupuk?”
”Ya iya, gampang dipatahin kalo sebut nama Alvin,”
”Ngelawak aja lo,” Vanta dan Jessi tertawa.
”Kalian ngapain di sini?” sebuah suara menghentikan tawa mereka, sontak keduanya menoleh.
”Eh, elo, Di.” Jessi tersenyum malu melihat seorang teman sekelasnya mendapati ia dan Vanta sedang 'mojok' di tangga.
”Lo ngapain Jes? Kok duduk di sini?”
”Ehehe... Ini, makan sama temen gue,” ia menyuarakan tawanya dalam suku kata.
”Loh, kok nggak makan di kantin?” tanya cowok itu bingung.
Kali ini Vanta yang menjawab, ”Area kantin jadi tempat yang berbahaya buat gue. Gue kan lagi jadi buron, jadi Jessi nemenin gue. Eh ya, bukan berarti gue abis makan di kantin, terus nggak bayar ya.”
Sebenarnya cowok itu nggak mengerti maksud Vanta, tapi ia tertawa dan memperkenalkan diri, ”Gue Ferdi, sekelas sama Jessi.”
Ferdi dari jurusan komunikasi, semester tiga. Wajahnya lumayan keren. Dia termasuk tipe cowok yang kalem. Nggak terlalu banyak bicara dan murah senyum. Dia juga ramah kepada setiap orang. Tidak sedikit mahasiswi jurusan komunikasi yang menyukainya. Vanta memerhatikan wajah cowok itu, terdapat sarat kelembutan pada matanya. Sadar dirinya belum juga menjabat tangan yang terulur itu, buru-buru Vanta menyambut tangan Ferdi dan menjabatnya, ”Vanta, jurusan desain,” sahutnya dengan senyum mengembang di bibir.
Jujur, ia juga sama saltingnya dengan Jessi, kepergok lesehan di tangga. Kayak nggak ada tempat bagus aja selain di tangga. Tapi di saat seperti ini ia harus tebal muka, menunjukkan kalau makan di tangga tuh nggak kalah asik sama makan di kantin. Biarpun kenyataannya memang... nggak keren banget deh! Basecamp kok di tangga?
”Boleh gabung?” percaya nggak percaya, Vanta mendegar pertanyaan itu. Ia dan Jessi hanya melongo. Ekspresi mereka membuat Ferdi tertawa kecil dan mengulang pertanyaann, ”Boleh gue gabung di sini sama kalian?”
Jessi dan Vanta saling pandang, tersenyum, dan menoleh ke Ferdi menjawab secara serempak, ”Boleh!”
”Hmm, gue ke kantin dulu sebentar, habis itu ke sini lagi. Ada yang mau titip?”
“Mau!” jawab Vanta semangat.
“Titip apa?”
Lemonade ya,” senyum gembira tercetak dibibir Vanta.
“Elo, Jes?”
“Nggak,” Jessi menggeleng pelan kemudian Ferdi pergi meninggalkan mereka. “Eh, Ta,”
“Hm?”
“Menurut lo Ferdi gimana?”
“Keliatannya baik,”
“Ganteng nggak?”
“Lumayan,”
“Lo deketin aja!”
Vanta yang lagi asyik mengunyah langsung tersedak makanannya. Jessi kaget dan membantu menepuk-nepuk punggung cewek itu pelan. Setelah ia dapat mencerna makanannya dengan baik, Vanta berkata, ”Nggak salah lo?”
”Nggak lah... Dia emang baik kok. Di kelas juga, cewek-cewek suka sifat dia. Tapi gue sih nggak naksir yang kayak gitu, terlalu kalem. Kalo lo kan pasti cocok tuh, Lo orangnya diem, cuek juga. Pasti suka cowok macem begitu.”
“Baru juga kenal Jes, baru liat tadi, malah.” Vanta menekankan kata ‘tadi’.
“Ehhh... Jangan salah, kan ada tuh yang namanya cinta pada pandangan pertama,” sahut Jessi semangat.
”Halah, hari gini masih pecaya cinta pada pandangan pertama? Basi tau!”
“Tapi lo coba aja sih kenal dia lebih deket, nggak ada salahnya kan?”
“Tau deh. Gue nggak suka deketin cowok duluan,”
“Tata, jaman sekarang tuh cewek nggak boleh nunggu-nnggu doang. Harus sedikit agresif juga.”
Sorry, bukan gue banget,”
Ketika mereka sedang membicarakan Ferdi, yang dibicarakan muncul membawa sebuah kebab yang terbungkus rapi dan dua gelas plastik berisi lemonade, “Nih.” Ia menyodorkan salah satu gelas plastik itu.
Thanks. Udah beberapa hari gue nggak minum ini. Kangennyaaaa,” seru Vanta girang menerima lemonade dari Ferdi.
“Sama-sama,” Ferdi tersenyum geli melihat wajah gembira Vanta, seperti seorang gadis berumur delapan tahun yang baru dibelikan permen kapas atau boneka.
Ketiganya makan bersama-sama dan larut dalam obrolan. Soal Vanta yang hobby-nya baca komik dan novel, soal Jessi yang tertarik dengan fashion, juga soal Ferdi yang ternyata suka baca komik, renang, dan fotografi. Ferdi malah menawarkan Vanta untuk menggunakan DSLR-nya bila Vanta memerlukannya saat mata kuliah fotografi. Tapi mata kuliah itu belum ada di semester satu. Jadi Vanta belum membutuhkannya.
”Tapi gue pingin juga sih belajar gimana cara pakai DSLR,”
“Kapan-kapan gue bawa deh. Nanti gue ajarin kalo gue lagi senggang,”
“Boleh?” tanya Vanta polos.
“Ya boleh, lah,” lagi-lagi Ferdi tersenyum memandang Vanta. Mereka bisa langsung akrab pada pertemuan pertama.
Vanta melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, ”Eh, sebentar lagi gue ada kelas siang nih. Cabut dulu ya,”
”Oke,” Jessi dan Ferdi menyahut bersamaan kemudian mereka pulang karena sudah tidak ada kelas.


            Kelas Vanta berakhir dengan cepat, begitu menurutnya. Namun ia masih harus mengikuti kelas selanjutnya. Terakhir untuk hari ini. Kampus sudah tidak terlalu ramai karena hari menjelang sore. Sinar matahari tidak begitu menyengat, justru terasa hangat. Ia menarik napas perlahan, memandang sekeliling kampus. Senyumnya mengembang, ia merasa saat ini adalah jam aman untuk pergi ke kantin, duduk dan bersantai sejenak membaca komik sambil menunggu kelas berikutnya. Kakinya ia arahkan menuju kantin, ia mengambil salah satu tempat duduk seperti biasanya, di sebeleh jendela kaca kantin yang menghadap ke tempat parkir mobil dan pelataran kampus. Sebelum memulai ritualnya, ia memakai kacamata minus yang hanya ia gunakan pada saat membaca atau belajar. Setelah siap, barulah ia merentangkan komik di meja, membaca halaman demi halaman.
            Alvin yang sejak tadi berada di ruangan khusus perokok di kantin, berjalan menuju kantin depan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang cewek duduk di salah satu bangku, menunduk menekuri sesuatu di meja. Cewek berkacamata tipis itu menampilkan raut serius. Alvin yang semula ingin pulang mengurungkan niatnya. Ia duduk di bangku tinggi yang menghadap ke tempat duduk cewek itu, yang tak lain adalah Vanta. Kantin sepi sekali saat itu sehingga menimbulkan kesan sunyi dan tenang. Alvin terus memerhatikan apa yang dilakukan Vanta, setiap gerak-gerik dan ekspresi cewek itu. Kali ini cewek itu tersenyum kecil dengan buku yang ia pegang, lalu melepaskan kacamatanya. Wajahnya tersorot oleh serpihan cahaya matahari sore yang menembus kaca jendela, bola matanya hitam mengilat, rambut panjangnya yang hitam legam selalu dikuncir rapi ke belakang, hidungnya tidak terlalu mancung, hari ini cewek itu memakai kemeja yang─untuk ukuran cewek─kebesaran seperti biasanya. Memang setiap Alvin bertemu dengannya, cewek itu selalu tampil kasual. Memakai baju yang style-nya bisa dibilang tidak jauh dari style Alvin sendiri. Tapi dengan penampilan yang biasa saat ini, sungguh... Cewek itu terlihat manis. Benar-benar manis. Alvin terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Tidak lama kemudian cewek itu menegakkan badannya, menoleh ke jendela kaca, dan beralih ke jam tangannya. Ia merasa kalut, segera ia membuang fokus terhadap cewek itu
            Vanta beranjak dari tempatnya ketika ia melihat Alvin menatap lurus ke arahnya. Ia balas menatap cowok itu sekilas dengan tatapan juteknya, lalu membuang muka. Alvin tersentak dengan reaksi cewek itu. Tanpa sadar, senyumnya mengembang di bibir. Menjahili cewek itu seolah sudah bukan menjadi sebuah pembalasan dendam lagi, tapi untuk menikmati setiap raut dan air muka cewek itu.


Perasaan lega dirasakan Vanta selama hampir seminggu. Ia curhat pada Jessi tentang Alvin yang tidak mengerjainya lagi selama tiga hari berturut-turut dalam minggu ini. Mungkin ia sudah berhasil menghindar dari cowok itu.
Alis Vanta berkerut ketika nomor tak dikenal meneleponnya, ”Halo?”
”Hai Ta, ini gue, Ferdi.”
“Oh, elo, Di. Kok tau nomor gue? Ada apa?”
“Dari Jessi. Mmm... Gini, gue bawa kamera hari ini. Siang nanti mau coba belajar?”
“Jam makan siang?”
“Yup,”
“Boleh, tapi gue makan dulu ya? Hehe...”
”Gue juga makan dulu kok. Mau makan bareng?”
Ragu sejenak, tapi Vanta bertanya, ”Di kantin atau... di tangga lagi?”
Kali ini terdengar tawa Ferdi di ujung sana, “Di kantin aja lah. Ada masalah?”
“Ng, nggak. Oke, nanti gue kabarin lagi.”
Ajakkan Ferdi membuat Vanta merasa senang, entah mengapa ia tidak bisa melepas senyum yang mengembang di bibirnya. Sampai ia memasuki galeri―Arya―teman sekelasnya bertanya, “Hayoo... Ngapain lo mesem-mesem gitu?”
“Nggak pa-pa,” jawab Vanta masih dengan senyum diwajah cerahnya.
“Abis nonton bokep ya?” tanya Arya asal.
”Heh! Sembarangan aja kalo ngomong!” serunya galak.
Arya cekikikan setelah menggoda Vanta. Mahasiswa kelasnya hari ini berkumpul di galeri. Mengamati hasil karya yang terpampang di sana. Semua yang ada di galeri merupakan karya terbaik, siapapun yang berhasil memajang lukisan, sketsa, foto, dan karya lainnya di sana, pasti akan merasa sangat bangga. Bagaimana tidak, hal itu menunjukkan bahwa karya mereka diakui semua dosen jurusan desain. Pak Hery, Pak Anton, dan Bu Dewi adalah sarjana DKV. Mereka kini menjadi dosen jurusan DKV yang terkenal jenius, tegas, serta tidak mudah bagi mereka memuji hasil karya anak didiknya. Bisa dibayangkan, karya-karya yang ada di ruang galeri mempunyai nilai seni yang cukup tinggi.
Mata Vanta terarah pada satu lukisan yang terpampang di dinding. Lukisan itu merupakan gambar mawar hitam yang diwarnai hanya dengan dua komponen warna, cat minyak putih dan hitam. Vanta yakin orang yang melukis lukisan ini pasti hebat. Mawar hitam yang merekah, dengan beberapa helai kelopak yang gugur. Hanya dengan perpaduan dua warna, orang itu mampu menyihir lukisan mawar ini menjadi begitu indah dan elegan. Gradasi warna pada kelopak mawar itu menimbulkan kesan hidup. Setiap goresan kuasnya begitu nyata. Namun dalam lukisan ini terkandung sarat kesepian yang mencekam. Vanta merasa ia dapat memahami jalan pikiran si pembuat lukisan ini. Orang itu melukisnya dengan sepenuh hati, mencurahkan segala keresahan dan kepedihannya. Vanta sangat menyukai lukisan mawar itu. Ia telah berdiri di sana lebih dari lima belas menit. Matanya menatap lekat pada lukisan itu. Sampai temannya memanggil untuk mengikuti mata kuliah pagi, ia baru beranjak dari tempatnya berdiri.
Jam menunjukkan pukul dua belas lewat lima menit. Setelah keluar dari kelasnya ia menelepon Jessi.
“Nanti makan bareng di kantin ya, sama Ferdi,”
“Cieeeee... Udah mulai pedekate ni ceritanya?” goda Jessi.
Rona merah muncul pada wajah Vanta, beruntung saat itu Jessi tidak bisa melihat kedua pipinya yang memerah. Kalau tidak, Jessi pasti menggodanya habis-habisan. “Apa sih?? Tadi tuh dia bilang hari ini dia bawa kameranya. Terus baru senggang pas jam makan siang. Jadi makan dulu deh.”
”Ooohhhh...” Jessi ber-oh sambil memonyongkan bibirnya.
”Udah ah, jangan mikir macem-macem!”
”Nggak gue temenin baru tau rasa lo. Salting abis deh pasti,” ujar Jessi jail.
“JESSSIIII!!! Awas lo ya!!”
“Sebenernya sih gue udah tau,”
”Tau apa?” tanya Vanta tidak mengerti.
”Tau kalo hari ini Ferdi mau mojok sama lo,”
Vanta memotong penjelasan Jessi, “Siapa yang mau mojok?!”
Namun Jessi tidak menghiraukan, “Tadi dia juga bilang, siang ini mau makan bareng lo. Dia nanya gue dulu, gue makan bareng lo apa nggak. Terus dia nayain nomor hape lo,”
“Oh,”
“Oh doang?”
“Ya ayo ke kantin. Jangan lama-lama, ini gue udah jalan ke kantin, lagi di lift.”
”Gue juga lagi di lift,”
Pintu lift terbuka, Vanta melangkah keluar. Dan pada waktu yang bersamaan pintu lift satu lagi terbuka, menampakkan wajah Jessi di dalam sana. Kontan keduanya tertawa dengan handphone masih menempel di telinga masing-masing.
”Ah lo, abis-abisin pulsa gue aja,” kata Vanta masih dengan sisa tawanya. ”Ferdi nggak bareng lo?”
”Nggak, dia nyusul katanya,”
Sudah beberapa hari mereka tidak ke kantin, rasanya mereka kangen dengan suasana ramai di kantin.
”Hah!” Jessi menghempaskan diri di bangku kantin yang empuk. ”Udah lama gue nggak makan di sini. Tiap siang mesti duduk di tangga yang keras gara-gara nemenin satu orang,”
”Maksud lo nyindir gue?” tanya Vanta mengerti maksud Jessi.
Jessi tertawa, “Nggak juga,”
Ponsel Vanta menjeritkan lagu ‘Heavy Rotation’-nya AKB48, ringtone tersebut menandakan ada telepon masuk. “Ya, Nath?... Gue di kantin, mau makan bareng?... Ohhh, ke sini aja... Oke!”
“Nathan?” tanya Jessi setelah Vanta memutus sambungan telepon.
“Iya, mau ke sini katanya.”
”Bagus!” seru Jessi berbisik.
”Kenapa?”
”Nggak,” Jessi melengos saat Vanta memandangnya dengan tanda tanya. ”Eh, tu Nathan.” Nathan berlari kecil ke meja mereka. ”Sini Nath, duduk sebelah gue,” kata Jessi dengan senyum lebarnya. Kemudian Nathan mengikuti perintah cewek cantik itu. Sementara Vanta masih tetap menatapnya dengan dahi berkerut samar.
Ketika Jessi kembali menghadap ke arah pintu masuk kantin, ia melihat Ferdi berjalan ke arahnya. Vanta yang selalu duduk membelakangi pintu masuk, tidak mengetahui keberadaan Ferdi.
”Hai,” sapa Ferdi dengan gaya kalemnya.
”Eh, Di, duduk. Tuh sebelah Vanta masih kosong.”
Sebelum Vanta sempat membalas sapaan Ferdi, Jessi sudah nyerocos lebih dulu. Kali ini Vanta tahu maksud Jessi menyuruh Nathan duduk di sampingnya dengan mukanya yang menebarkan senyum mencurigakan. Jessi pingin nyomblangin ia dan Ferdi! Pasti itu yang ada dipikiran sobatnya.
Ferdi menoleh ke Vanta yang belum juga menggeser duduknya. Cewek itu tersadar, ”Eh iya, sorry,” kemudian ia memberi tempat duduk untuk Ferdi. Cowok itu tersenyum ramah lalu duduk. Vanta menggigit bibir bawahnya, dalam hati ia berpikir, cewek mana sih yang nggak terpikat liat senyum semenawan itu?
Mereka makan sambil ngobrol-ngobrol. Vanta lebih banyak tersenyum dan mendengarkan. Hanya mengeluarkan suara saat ditanya. Diam antara grogi dan tidak tahu harus ngomong apa.
”Ta, gue duluan ya,” pamit Jessi sembari menyandangkan tasnya di bahu.
”Loh? Mau kemana lo? Bukannya lo masih ada kelas?”
”Jalan-jalan bentar sama temen gue, abis itu ke sini lagi” jawab Jessi sambil tersenyum pada Vanta dan Ferdi. ”Nathan, yuk,” tiba-tiba Jessi menggamit tangan Nathan dan mengajaknya pergi dari kantin.
”Eh, eh, kok sama Nathan juga??” pertanyaan Vanta tidak digubrisnya, Jessi sudah melangkahkan kakinya cepat dengan Nathan yang mengikutinya dengan raut bingung. Vanta cuma bisa menganga melihat temannya yang meninggalkannya begitu saja.
”Kenapa? Nggak jadi?” tanya Ferdi lembut.
“Jadi kok, dimana?”
“Di taman tengah aja gimana? Kan adem di situ. Pemandangannya lumayan juga buat dijadiin objek,”
”Oke. Yuk,”
Vanta dan Ferdi duduk di salah satu saung di taman kampus. Di situ memang tempat yang strategis, taman yang letaknya berada di tengah gedung kampus ditanami banyak pepohonan dan beberapa jenis bunga. Ferdi mulai mengarahkan kameranya pada salah satu tanaman merambat, dan mengambil gambarnya. Cara ia memegang kamera, ekspresinya di balik kamera, dijamin bikin cewek yang melihatnya langsung pingsan saking terpesonanya.
”Nih, lo coba,” suara Ferdi mengejutkan lamunan Vanta.
“Eh, iya.” Vanta menerima kamera yang diulurkan Ferdi, dilihatnya pemandangan dari balik lensa kamera.
“Yang gue pakai ini Lensa Wide Angle, lebih bagus untuk ambil gambar yang jangkauannya luas. Kalo untuk motret benda-benda yang kecil, kita butuh lensa yang daya fokusnya lebih tinggi, Lensa Macro. Tapi gue nggak bawa. Masih ada beberapa jenis lensa lagi sih, cuma yang gue punya baru dua itu,”
“Ohh… Lo tau banyak ya tentang kamera? DSLR lo tipe berapa nih?” tanya Vanta membidikkan DSLR itu ke sembarang arah.
“Mmm, nggak juga. Canon 550D, masih untuk orang awam lah, belum canggih. Namanya juga cuma sekedar hobby.” Ferdi tersenyum memerhatikan wajah Vanta yang serius, kemudian bertanya “Jadi, lo biasa dipanggil Tata?”
“Nggak, cuma Jessi doang yang manggil gue Tata. Panggilan sayang katanya,” ujar Vanta yang kemudian tertawa.
Ferdi ikut tertawa, ”Oh, jadi panggilan lo apa dong?”
“Apa aja deh, asal jangan Inem,” candanya. “Ya panggil Vanta aja. Kalo di rumah sih, gue dipangil Ata,”
“Ata?”
“Iya, karena waktu kecil gue nggak bisa nyebutin nama gue dengan jelas. Jadi Ata gitu kedengerannya. Lucu ya?”
“Mm, manis kok,” Ferdi tersenyum. Lagi-lagi senyum itu bikin Vanta melumer.
“Kakak gue aja dipanggilnya Oka,”
”Lo punya kakak? Cewek atau cowok?”
”Iya. Cowok,”
”Kalo kakak lo namanya siapa?”
”Vodka, hehe...” Vanta menyuarakan tawanya dalam bentuk suku kata.
”Wow, unik ya nama kalian berdua. Lo dua bersaudara?”
”Yup. Kalo lo?”
”Gue tiga bersaudara, jantan semua Ta,”
Vanta tertawa, lalu bertanya, ”Lo anak ke berapa?”
“Di tengah-tengah, penetralisir keributan.”
“Pantes keliatan bijak,”
”Masa?” Ferdi senyum-senyum mendengar pujian Vanta.
”Hmm, keliatannya sih begitu. Nggak tau sebenernya gimana,” ia tertawa sambil membidikkan kameranya ke arah Ferdi.
Sementara itu di koridor sebelah utara, Alvin dan kawan-kawan sedang berjalan menuju lift. Ia melintasi lorong yang mengelilingi taman utama kampus. Andre yang memalingkan wajah seketika berseru, ”Weh, weh, liat tuh!” dengan serempak Alvin dan yang lainnya menoleh ke arah yang ditunjukkan Andre.
”Weits, ada yang mojok, Vin. Gangguin lah,” ujar Edo menepuk bahu Alvin.
Toto yang sifatnya netral-netral saja menimpali, “Kalian ini demennya gangguin orang ya? Lanjutkanlah!”
“Iya, udah berapa hari kita nggak liat lo ngerjain pepsi blue nih,” Pepsi blue yang dimaksud Andre adalah Vanta. Sebutan itu diberikan oleh Alvin yang sudah tahu nama Vanta, dan kebetulan ia pernah melihat Vanta berpenampilan serba biru. Belum lagi motor cewek itu berwarna biru dengan perpaduan hitam.
Alvin menatap ke arah taman dengan pandangan menerawang, ia melihat gadis itu sedang bercakap-cakap tersenyum gembira memegang DSLR dengan seorang cowok di sebelahnya yang juga sedang tersenyum. “Siapa cowok itu?” tanya Alvin yang ditujukkan untuk semua temannya.
“Itu anak komunikasi kalo nggak salah,” jawab Toto sang informan.
“Oh... Cowoknya?” Alvin masih memerhatikan Vanta sambil memainkan permen karetnya di dalam mulut.
“Setau gue sih, cowok itu nggak punya pacar,” lagi-lagi Toto yang menjawab. Memang cowok ini selain ingatannya kuat, juga up to date mengenai berita tentang mahasiswa dan seputar kampus.
“Oke, besok kita siap-siap buat ngerjain pepsi berjalan itu,” kata Alvin mengomandani teman-temannya. Ia tidak mengerti, tapi mungkin ini takdirnya untuk menjadi musuh besar Vanta di kampus. Saat cewek itu menjerit kesal kepadanya, ia senang, ia puas. Saat cewek itu terlihat bahagia mengobrol dengan orang lain, ia yang merasa kesal, merasa tidak adil. Namun satu pertanyaan muncul dalam benaknya, bagaimana perasaannya bila gadis itu tersenyum dan tertawa karenanya?


 >> TBC <<

Komentar